Pewarta Global, YOGYAKARTA,— Keputusan yang diambil Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dalam pengangkatan putri pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, untuk menjadi putri mahkota berpotensi akan menimbulkan perdebatan sengit dikalangan masyarakat dan internal keraton. Hal itu karena, dari sepanjang riwayat sejarah Keraton Yogyakarta, seorang perempuan belum pernah ada yang dinobatkan sebagai raja.
Menurut dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias. Menobatkan GKR Pembayun akan berpotensi menimbulkan perdebatan, Rabu (6/5).
"Penobatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam di internal Keraton Yogyakarta dan di masyarakat," ungkapnya.
Pada Selasa (5/5) siang di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X kembali mengeluarkan sabda raja . Dalam sabda itu, Sultan menetapkan nama baru untuk GKR Pembayun, yakni Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Putri mahkota telah ditetapkan kepada GKR Pembayun, Hal ini telah disebutkan oleh beberapa abdi dalem dan kerabat keraton. .
Sebelumnya, pada Kamis (30/4), sabda raja telah dikeluarkan oleh Sultan. Isi sabda raja itu antara lain adalah perubahan gelar Raja Keraton Yogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono menjadi Sultan Hamengku Bawono. Selain itu,juga melakukan penghapusan gelar Kalifatullah yang melekat pada Raja Keraton Yogyakarta . Sebelumnya dalam gelar Sultan Hamengku Buwono X dari frasa "kaping sedasa" diubah menjadi "kaping sepuluh".
Dari tahun 1755 Sejak terbentuknya Keraton Yogyakarta hingga sekarang ini, raja selalu dijabat oleh laki-laki. Seperti dalam kasus Sultan Hamengku Buwono V, Pada saat itu Raja yang bertakhta tak memiliki anak lelaki untuk menggantikannya, takhta raja tersebut diserahkan kepada adik lelakinya,” papar Bayu.
"Ketika HB V wafat, beliau belum memiliki anak laki-laki. Namun, saat itu ada satu istrinya yang sedang mengandung sehingga pilihannya dua, yakni menunggu bayi lahir atau mengangkat adik HB V sebagai raja. Akhirnya dipilih mengangkat adik HB V sebagai HB VI," ungkap Bayu.
“Setelah penetapan itu terjadi, istri HB V ternyata melahirkan anak laki-laki. Namun, penetapan adik HB V sebagai raja tidak dibatalkan. Dari pengalaman itu, pengangkatan GKR Pembayun diyakini akan menimbulkan perdebatan sengit,” imbuhnya.
Di internal keraton, Pengangkatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota pasti akan menimbulkan perbedaan pendapat, Hal ini menurut Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Djoko Dwiyanto . "Perubahan ini radikal dan revolusioner. Dalam sejarah keraton, kan, belum pernah ada putri mahkota. Yang ada putra mahkota," ungkapnya.
Menurut Djoko, Dua sabda raja yang telah disampaikannya, Sultan HB X harus segera dapat menjelaskan maksud dan tujuan tersebut. Termasuk terkait pengangkatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota. Sebaiknya Sultan juga segera menggelar pertemuan dengan kerabat keraton agar ada kesamaan pendapat. "Lingkaran dalam keraton harus solid. Kalau sampai ada konflik, kan, tidak baik. Ini akan mengganggu implementasi keistimewaan Yogyakarta," kata Djoko.

Comments
Post a Comment